Malam Ketika Gunung Berbicara
Kamis, 13 Februari 2014, adalah malam yang biasa bagi jutaan penduduk di lereng subur Gunung Kelud. Namun, ketenangan itu pecah berkeping-keping tepat pukul 22.50 WIB. Suara gemuruh yang memekakkan telinga, yang kemudian dilaporkan terdengar hingga Purbalingga, 300 kilometer jauhnya, menandai awal dari salah satu erupsi vulkanik paling dahsyat di Indonesia pada abad ke-21. Gunung Kelud, raksasa yang tertidur, telah terbangun dengan amarah.
Dalam sekejap, letusan tipe Plinian dengan Volcanic Explosivity Index (VEI) 4 melontarkan kolom abu dan material vulkanik setinggi 17 hingga 26 kilometer ke stratosfer, menghancurkan kubah lava yang terbentuk pada erupsi sebelumnya. Langit malam yang seharusnya berbintang berubah menjadi neraka yang bergemuruh, diselingi kilatan petir vulkanik yang menakutkan. Hujan kerikil dan pasir mulai turun, menimpa atap-atap rumah dengan suara yang mengerikan. Bagi puluhan ribu warga dalam radius bahaya, kepanikan adalah respons yang wajar. Kegelapan total menyelimuti, listrik padam, dan jalur komunikasi modern seperti telepon seluler dan internet terancam lumpuh.
Di tengah kekacauan inilah sebuah paradoks muncul. Di era digital yang serba canggih, solusi yang paling efektif, andal, dan tepercaya untuk menyelamatkan nyawa datang dari teknologi yang dianggap usang: gelombang radio. Ini bukanlah kebetulan. Ini adalah puncak dari persiapan bertahun-tahun yang dilakukan oleh jaringan warga biasa yang luar biasa. Laporan ini akan menuturkan kisah bagaimana radio komunitas, radio amatir, dan organisasi masyarakat sipil menjadi tulang punggung sistem peringatan dini dan evakuasi, memotong kebisingan informasi yang simpang siur dan menyiarkan sinyal harapan yang jernih di tengah malam tergelap di lereng Kelud. Ini adalah kisah tentang operator radio radio komunitas dan jaringan relawan Jangkar Kelud yang tak kenal lelah, yang membuktikan bahwa dalam bencana, teknologi yang paling kuat adalah teknologi yang membangun kepercayaan dan menggerakkan komunitas.
Ditempa dalam Api: Lahirnya Para Penjaga Gelombang Udara Kelud
Keberhasilan penanganan bencana erupsi Kelud 2014 bukanlah sebuah keajaiban yang terjadi dalam semalam. Itu adalah buah dari pelajaran pahit yang dipetik dari bencana-bencana sebelumnya, sebuah respons proaktif dari komunitas yang menolak untuk menjadi korban pasif. Akar dari ketangguhan ini tertanam kuat pada pengalaman erupsi tahun 2007.
Hantu Erupsi 2007
Erupsi Gunung Kelud pada tahun 2007 memiliki karakter yang berbeda—bersifat efusif, yang secara perlahan memunculkan kubah lava di tengah danau kawah, bukan letusan eksplosif. Meski tidak sedramatis erupsi 2014, peristiwa ini menjadi lonceng peringatan yang krusial. Masyarakat di lereng gunung merasakan adanya kesenjangan informasi yang mengkhawatirkan. Mereka merasa terisolasi, bergantung pada berita resmi yang sering kali datang terlambat atau sulit dipahami, menciptakan kebingungan dan kecemasan. Pengalaman ini menyadarkan banyak pihak bahwa untuk selamat dari amukan Kelud di masa depan, mereka tidak bisa hanya menunggu instruksi dari atas; mereka harus membangun sistem informasi mereka sendiri, dari bawah ke atas.
Kelahiran Kelud FM: Suara Milik Desa
Sebagai respons langsung terhadap kekosongan informasi pada 2007, sekelompok warga di Dusun Margomulyo, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri—desa yang posisinya paling dekat dengan kawah Kelud—mengambil inisiatif. Dipimpin oleh Suprapto, seorang perangkat desa, mereka mendirikan sebuah stasiun radio komunitas pada pertengahan 2010. Namanya sederhana dan lugas: Kelud FM.
Motivasi mereka sangat jelas. “Kami berkaca pada pengalaman letusan pada tahun-tahun sebelumnya, informasi yang benar dan akurat itu sangat penting,” ujar Suprapto. Stasiun radio ini dibangun sepenuhnya secara swadaya, sebuah bukti nyata kepemilikan dan komitmen komunitas yang mendalam. Dengan pemancar modulasi frekuensi (FM), siarannya mampu menjangkau radius hingga lima kilometer, mencakup hampir seluruh wilayah kecamatan.
Fungsi Kelud FM dirancang dengan cerdas untuk dua skenario. Pada masa normal, radio ini menjadi pusat kehidupan komunitas, menyiarkan hiburan, informasi pertanian, dan program-program lokal lainnya. Namun, ketika Kelud menunjukkan tanda-tanda aktivitas, perannya berubah total. Kelud FM bertransformasi menjadi kanal informasi krisis, dengan satu misi tunggal: menyiarkan kabar aktual dan terpercaya yang bersumber langsung dari Pos Pemantauan Gunung Api (PPGA) Kelud milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Mereka menjadi jembatan vital antara data ilmiah dan pemahaman masyarakat awam.
Jangkar Kelud: Sauh Penyelamat Komunitas
Jika Kelud FM adalah suara hiperlokal, maka Jangkar Kelud adalah jaringan yang mengikat komunitas di tiga kabupaten yang mengelilingi gunung: Kediri, Blitar, dan Malang. Terbentuk setelah erupsi 2007, Jangkar Kelud—singkatan dari “Jangkane Kawulo Redi Kelud” atau Harapan Masyarakat Gunung Kelud—adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan paguyuban warga yang berfokus pada pengurangan risiko bencana secara komprehensif.
Dipimpin oleh tokoh-tokoh komunitas seperti Catur Sudarmanto, yang akrab disapa Mbah Darmo, Jangkar Kelud tidak hanya menunggu bencana terjadi. Mereka bekerja tanpa lelah di masa tenang. Misi mereka mencakup tiga pilar: pelatihan pra-bencana, advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah, dan pembentukan protokol komunikasi krisis yang andal. Radio dan Handy Talky (HT) menjadi alat utama mereka untuk berkoordinasi. Secara signifikan, sebelum erupsi 2014 terjadi, Jangkar Kelud telah menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan kesiapsiagaan di 36 desa di kawasan rawan bencana. Ini adalah investasi sosial yang kelak akan terbayar lunas dengan nyawa yang terselamatkan.
RAPI dan Kekuatan Jaringan Terstruktur
Melengkapi ekosistem komunikasi ini adalah Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI). Berbeda dari radio komunitas yang lebih informal, RAPI adalah organisasi para operator radio amatir berlisensi dengan struktur komando dan protokol darurat yang sudah mapan. Kekuatan mereka terletak pada disiplin dan jangkauan jaringan mereka.
RAPI membangun rantai informasi yang solid dan tak terputus. Informasi mentah dari sumber resmi, yakni pos pantau PVMBG di Desa Sugihwaras yang mereka sebut “titik nol”, diterima oleh anggota RAPI yang bertugas di sana. Dari titik nol, informasi tersebut dipancarkan secara cepat dan akurat ke posko utama RAPI dan disebarluaskan ke seluruh anggota yang tersebar di desa-desa, bahkan hingga ke hilir sungai. Struktur ini menjamin validitas dan kecepatan informasi, mencegah penyebaran hoaks dan rumor yang bisa berakibat fatal dalam situasi krisis.
Dengan demikian, keberhasilan komunikasi pada tahun 2014 bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah hasil dari evolusi selama tujuh tahun, di mana komunitas secara sadar dan sistematis membangun infrastruktur komunikasi sosialnya sendiri. Mereka menganalisis kegagalan masa lalu dan merancang solusi yang sesuai dengan konteks lokal mereka. Ketangguhan proaktif inilah yang menjadi fondasi bagi respons bencana yang kemudian dipuji sebagai salah satu yang paling sukses di Indonesia.
Krisis yang Terus Berkembang: Hitung Mundur di Gelombang Udara
Ketika Gunung Kelud mulai menggeliat pada awal Februari 2014, jaringan komunikasi yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun itu segera diaktifkan. Fase ini bukanlah kepanikan, melainkan sebuah demonstrasi kesiapsiagaan yang terkoordinasi, di mana radio menjadi konduktor utama dalam orkestra mitigasi bencana.
Gunung Mulai Bergejolak
Pada 2 Februari 2014, PVMBG secara resmi menaikkan status aktivitas Gunung Kelud dari Normal (Level I) menjadi Waspada (Level II). Keputusan ini didasarkan pada peningkatan signifikan aktivitas seismik, termasuk gempa vulkanik dalam yang terekam oleh seismograf. Bagi masyarakat awam, data teknis seperti ini bisa jadi membingungkan. Di sinilah peran para penjaga gelombang udara dimulai.
Radio Kelud FM, RAPI, dan jaringan Jangkar Kelud segera mengaktifkan protokol krisis mereka. Mereka menjadi “penerjemah” informasi. Data-data teknis dari PVMBG—seperti jumlah gempa tremor, kode seismik, dan data dari tiltmeter yang mengindikasikan penggembungan tubuh gunung—diterima dan diolah. Alih-alih menyiarkan angka-angka mentah, mereka mengubahnya menjadi pesan yang jelas, tenang, dan dapat ditindaklanjuti oleh warga. Siaran-siaran ini secara tidak sadar menjadi program edukasi publik secara real-time, membuat masyarakat paham bahwa gunung mereka sedang “sakit” dan mereka harus bersiap.
Dari ‘Waspada’ Menuju ‘Siaga’
Aktivitas vulkanik terus meningkat. Pada 10 Februari 2014, PVMBG kembali menaikkan status menjadi Siaga (Level III) dan merekomendasikan pengosongan wilayah dalam radius 5 kilometer dari puncak. Intensitas siaran radio pun meningkat seiring dengan level ancaman. Fokus siaran bergeser dari sekadar informasi menjadi imbauan kesiapsiagaan yang konkret.
Melalui gelombang udara, warga diimbau untuk mulai menyiapkan go-bag (tas siaga bencana), mengamankan dokumen-dokumen penting, memperkuat atap rumah, dan yang terpenting, menyusun rencana evakuasi bagi keluarga, lansia, dan ternak mereka. Pesan-pesan sederhana namun vital ini, seperti “jangan lupa mematikan kompor dan mengunci pintu saat evakuasi,” disampaikan berulang kali, menanamkan kesadaran di benak pendengar.
Mobilisasi Pra-Bencana
Di balik layar siaran radio, Jangkar Kelud bergerak lebih jauh. Berdasarkan informasi yang terus diperbarui melalui jaringan komunikasi mereka, lima hari sebelum letusan terjadi, paguyuban ini sudah mulai membentuk tim-tim evakuasi di tingkat desa. Mereka berkoordinasi dengan kepala desa dan aparat setempat, memastikan jalur evakuasi sudah ditentukan dan titik-titik kumpul telah disepakati. Ini membuktikan bahwa evakuasi yang terjadi kemudian bukanlah sebuah pelarian yang kacau, melainkan sebuah proses mundur yang terencana, yang dipicu oleh informasi tepercaya dari jaringan radio komunitas.
Tabel berikut merangkum kronologi eskalasi krisis dan bagaimana setiap tindakan resmi direspons secara sigap oleh jaringan radio di lapangan.
Tabel 1: Kronologi Eskalasi Krisis Kelud 2014 dan Aksi Jaringan Radio
Tanggal / Waktu | Aksi Resmi / Status PVMBG | Aksi Jaringan Radio Komunitas |
2 Februari 2014 | Status dinaikkan menjadi Waspada (Level II) akibat peningkatan aktivitas seismik. | Kelud FM dan RAPI mulai menyiarkan pembaruan rutin dari PVMBG, menerjemahkan data teknis menjadi informasi yang mudah dipahami warga. |
10 Februari 2014 | Status dinaikkan menjadi Siaga (Level III). Zona eksklusi 5 km ditetapkan. | Siaran radio mengintensifkan pesan kesiapsiagaan: persiapan tas siaga, pengamanan rumah, dan rencana evakuasi ternak. |
~8-12 Februari 2014 | – | Jangkar Kelud, berdasarkan informasi radio, membentuk tim evakuasi di desa-desa dan menyiapkan penyiaran tanggap darurat. |
13 Februari 2014, 21.15 WIB | Status dinaikkan menjadi Awas (Level IV). Zona eksklusi diperluas hingga 10 km. | RAPI dan radio komunitas secara serentak menyiarkan status “AWAS”, menjadi pemicu utama dimulainya evakuasi mandiri oleh warga. |
13 Februari 2014, 22.50 WIB | Erupsi eksplosif pertama terjadi. | Radio tetap mengudara untuk memandu evakuasi, memberikan informasi jalur aman, dan menenangkan warga yang panik. |
Rangkaian peristiwa ini menunjukkan sebuah mesin mitigasi bencana yang bekerja dengan presisi. Setiap peningkatan level ancaman dari sumber resmi langsung direspons dengan tindakan komunikasi yang terukur dan efektif di tingkat akar rumput, mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi malam terpanjang dalam hidup mereka.
Malam Terpanjang: Suara yang Membelah Kegelapan
Malam 13 Februari 2014 adalah ujian akhir bagi sistem yang telah dibangun oleh komunitas lereng Kelud. Ketika gunung akhirnya melepaskan amarahnya, jaringan radio tidak goyah. Sebaliknya, mereka menjadi detak jantung dari operasi penyelamatan diri massal yang luar biasa, sebuah simfoni komunikasi yang dipimpin oleh para pahlawan lokal.
Untuk memahami kompleksitas operasi malam itu, penting untuk mengenali para aktor kunci dan peran spesifik mereka, yang bekerja secara sinergis untuk memandu ribuan orang menuju keselamatan.
Tabel 2: Aktor Kunci Radio dan Peran Mereka pada Malam Erupsi Kelud 2014
Aktor / Kelompok | Lokasi / Lingkup Pengaruh | Peran Utama | Aksi Kunci pada Malam Erupsi |
Suprapto / Kelud FM | Desa Sugihwaras, Kec. Ngancar (±10 km dari kawah) | Penyiar hiperlokal, penerjemah data, pembangun kepercayaan. | Melakukan siaran peringatan terakhir, kemudian memimpin evakuasi langsung di desanya setelah letusan. |
Erik “Sukoco” Sutrada / RAPI | Pos Pantau PVMBG “Titik Nol” | Operator relai informasi resmi, penyebar peringatan pertama. | Menerima dan menyiarkan status “AWAS” melalui HT, yang memicu evakuasi massal di seluruh lereng. |
Mbah Darmo / Jangkar Kelud | Jaringan Lintas Kabupaten (Kediri, Malang, Blitar) | Koordinator strategis, pelatih pra-bencana, advokat. | Mengaktifkan jaringan relawan yang telah dilatih, mengoordinasikan evakuasi antardesa. |
PVMBG | Pos Pantau Gunung Kelud | Sumber ilmiah resmi. | Memantau data vulkanik dan menaikkan status bahaya ke Level IV (AWAS). |
Pukul 21.15 WIB: Titik Tanpa Harapan Kembali
Pada pukul 21.15 WIB, setelah melihat data seismik dan visual yang melonjak drastis, PVMBG mengambil keputusan krusial: status Gunung Kelud dinaikkan ke level tertinggi, Awas (Level IV). Radius zona bahaya diperluas dari 5 km menjadi 10 km, sebuah area padat penduduk yang harus segera dikosongkan. Hanya ada waktu sekitar satu setengah jam sebelum letusan pertama terjadi.
Rantai Informasi yang Tak Terputus
Di sinilah keunggulan struktur RAPI terbukti. Informasi kenaikan status “AWAS” diterima langsung oleh Erik Sutrada, yang menggunakan nama udara Sukoco, di pos pantau “titik nol”. Tanpa jeda, menggunakan Handy Talky (HT) miliknya, Sukoco menyiarkan informasi kritis tersebut ke seluruh jaringan RAPI. Pesan yang jelas, singkat, dan berasal dari sumber tepercaya ini menyebar seperti api di padang kering. Siaran inilah yang berfungsi sebagai “tembakan pistol start” bagi evakuasi massal yang sebagian besar dilakukan secara mandiri oleh warga. Mereka tidak menunggu perintah resmi dari aparat yang mungkin datang terlambat; mereka percaya pada suara yang mereka kenal di gelombang radio.
Siaran Terakhir Kelud FM
Sementara itu, di studionya yang sederhana di Desa Sugihwaras, Suprapto masih mengudara hingga pukul 22.00, hanya 50 menit sebelum letusan. Dengan tenang namun tegas, ia terus mengingatkan warganya tentang bahaya yang semakin dekat. Siarannya berhenti bukan karena status Awas atau kepanikan, melainkan karena jadwal siaran malam itu memang sudah berakhir.
Saat gemuruh pertama terdengar dan hujan abu mulai turun, peran Suprapto seketika berubah. Ia meletakkan mikrofon dan menjadi komandan lapangan. Bersama 14 rekannya di radio komunitas, ia langsung turun ke jalan, mengorganisir evakuasi 3.209 jiwa warga desanya. Prioritas diberikan kepada perempuan, anak-anak, dan lansia. Truk-truk yang sudah disiagakan—awalnya untuk mengevakuasi ternak keesokan paginya—segera dialihfungsikan untuk mengangkut manusia. Dalam sebuah tindakan yang menunjukkan pemikiran jauh ke depan, Suprapto sempat berkoordinasi dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) setempat, meminta agar listrik tidak dipadamkan hingga seluruh warga berhasil dievakuasi. “Bayangkan gelapnya kalau listrik padam saat itu,” kenangnya. Begitu warga terakhir diangkut, ia memberi tanda, dan listrik pun dipadamkan, menyisakan desa dalam kegelapan dan keheningan yang mencekam.
Tata Kelola Akar Rumput di Tengah Kekosongan Institusional
Kisah heroik Suprapto dan jaringan RAPI menjadi semakin luar biasa jika ditempatkan dalam konteks kelembagaan saat itu. Sebuah fakta krusial yang sering terlewatkan adalah bahwa pada tahun 2014, Kabupaten Kediri, salah satu wilayah terdampak paling parah, belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang permanen. BPBD Kediri baru dibentuk pada tahun 2015, setahun setelah erupsi. Meskipun ada badan ad-hoc bernama Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak PBP) yang dibentuk oleh bupati, badan ini tidak memiliki kapasitas, sumber daya, dan struktur permanen seperti BPBD.
Dalam kekosongan institusional inilah, ekosistem yang dibangun oleh komunitas—Kelud FM, RAPI, dan Jangkar Kelud—naik mengisi peran tersebut. Mereka bukan sekadar mendukung respons resmi; mereka adalah mekanisme respons utama di tingkat akar rumput. Mereka merancang sistem, melatih personel, menyebarkan informasi, dan memimpin evakuasi. Mereka secara de facto berfungsi sebagai badan penanggulangan bencana yang paling efektif di lapangan. Ini bukanlah sekadar partisipasi masyarakat; ini adalah sebuah bentuk tata kelola krisis berbasis komunitas yang berjalan mandiri. Keberhasilan model ini begitu mencolok sehingga menarik perhatian internasional, dengan perwakilan dari Swiss dan Kanada datang ke Jawa Timur untuk mempelajari bagaimana respons bencana yang begitu efektif dapat dikoordinasikan dengan sangat baik, bahkan dengan keterlibatan minimal dari pemerintah pusat. Malam terpanjang di lereng Kelud tidak hanya menunjukkan kekuatan alam, tetapi juga kekuatan luar biasa dari masyarakat yang terorganisir.
Fajar Kelabu: Mengelola Bencana Lanjutan
Ketika fajar menyingsing pada Jumat, 14 Februari 2014, matahari tidak terbit. Langit tetap gelap, tertutup oleh selimut abu vulkanik tebal yang mengubah siang menjadi malam. Erupsi utama mungkin telah berakhir, tetapi bencana baru saja dimulai. Pada fase pasca-erupsi yang kritis ini, radio sekali lagi membuktikan perannya sebagai medium yang tak tergantikan, tidak hanya untuk menyebarkan informasi tetapi juga untuk mengelola ancaman baru dan menjaga ketertiban sosial.
Hujan Abu dan Dampak yang Meluas
Pemandangan pagi itu sureal dan apokaliptik. Seluruh lanskap, dari puncak gunung hingga kota-kota besar di sekitarnya, terkubur di bawah lapisan abu kelabu. Di beberapa tempat, jarak pandang berkurang hingga hanya 10 meter. Hujan abu ini tidak hanya melanda Jawa Timur; angin membawanya ke barat, menyelimuti sebagian besar Pulau Jawa, termasuk kota-kota seperti Yogyakarta, Surakarta, bahkan hingga Bandung di Jawa Barat.
Dampaknya masif. Lebih dari 100.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Ribuan rumah dan bangunan rusak atau roboh total karena tidak kuat menahan beban abu basah. Sektor pertanian, tulang punggung ekonomi lokal, luluh lantak. Lahan pertanian seluas ribuan hektar tertutup material piroklastik yang mengeras saat terkena air, merusak tanaman dan mengubah mata pencaharian petani secara drastis. Kerugian ekonomi ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah hanya di Kabupaten Malang saja. Aktivitas penerbangan lumpuh total, dengan beberapa bandara internasional terpaksa ditutup.
Imperatif Lahar: Ancaman Kedua
Di tengah upaya penanganan dampak hujan abu, ancaman yang lebih mematikan mengintai: lahar dingin. Deposit material vulkanik yang sangat besar di puncak dan lereng Kelud menjadi bom waktu. Dengan turunnya hujan, material ini dapat dengan cepat berubah menjadi aliran lumpur dan batu (lahar) yang dahsyat, menyapu apa pun yang dilaluinya di sepanjang aliran sungai.
Menyadari bahaya ini, jaringan RAPI segera melakukan reposisi. Para anggotanya, yang baru saja melewati malam tanpa tidur untuk memandu evakuasi, kini menempatkan diri mereka di sepanjang enam sungai besar yang berhulu di Kelud. Mereka berfungsi sebagai mata dan telinga komunitas, menjadi sistem peringatan dini lahar yang hidup.
Selama 24 jam sehari, mereka berjaga. Ketika aliran lahar terdeteksi di hulu, informasi tersebut langsung mengudara melalui HT. Operator di posko utama akan menyiarkan peringatan berulang kali dengan pesan yang mendesak dan spesifik: “Aliran lahar dingin sudah sampai di wilayah Puncu. Warga sekitar sungai harap waspada. Sekali lagi, waspada. Jangan sampai tidur.”. Aliran lahar yang terjadi beberapa hari kemudian memang terbukti dahsyat, merusak rumah dan jembatan. Namun, berkat sistem peringatan dini berbasis radio ini, tidak ada satu pun korban jiwa yang jatuh akibat lahar.13 Ini adalah bukti nyata bagaimana radio dapat secara langsung menyelamatkan nyawa pada fase sekunder bencana.
Tali Kehidupan bagi Para Pengungsi
Dengan lebih dari 100.000 pengungsi tersebar di ratusan titik, koordinasi bantuan kemanusiaan menjadi tantangan logistik yang sangat besar.4 Di sinilah radio kembali berperan sebagai sistem saraf pusat. Siaran radio menjadi sumber informasi satu pintu bagi para pengungsi dan relawan.
Informasi vital seperti lokasi posko pengungsian, ketersediaan dapur umum, layanan kesehatan, dan kebutuhan logistik mendesak (seperti masker, makanan bayi, dan selimut) disiarkan secara berkala. Radio juga menjadi media untuk menyatukan kembali anggota keluarga yang terpisah di tengah kekacauan evakuasi. Dengan menyediakan informasi yang akurat dan terverifikasi, siaran radio membantu melawan penyebaran rumor dan disinformasi, menjaga moral, dan menanamkan rasa keteraturan di tengah populasi yang trauma dan kehilangan tempat tinggal. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun secara resmi mengakui peran strategis ini, mengimbau seluruh lembaga penyiaran untuk menyampaikan informasi yang akurat dan berempati terhadap korban.
Dari memandu evakuasi di tengah malam buta, memperingatkan datangnya lahar, hingga mengoordinasikan bantuan bagi yang paling rentan, radio membuktikan dirinya bukan sekadar alat komunikasi, melainkan infrastruktur sosial yang esensial dalam setiap tahap penanggulangan bencana Kelud 2014.
Analisis: Ketangguhan Gelombang Lokal
Keberhasilan luar biasa dari jaringan radio selama krisis Kelud 2014 bukanlah suatu anomali. Itu adalah manifestasi dari serangkaian faktor yang saling terkait, mulai dari keunggulan inheren medium radio itu sendiri hingga struktur sosial unik yang dibangun oleh komunitas di lereng gunung. Analisis mendalam mengungkapkan sebuah model ketangguhan bencana yang sangat efektif dan dapat direplikasi.
Keunggulan Inheren Radio dalam Krisis
Dalam situasi bencana, ketika infrastruktur modern gagal, radio menunjukkan keunggulannya yang tak tertandingi.
- Aksesibilitas dan Keandalan: Radio adalah medium yang paling tangguh. Perangkatnya murah, portabel, dan banyak yang dapat dioperasikan dengan baterai. Yang terpenting, ia tidak bergantung pada jaringan listrik atau menara seluler dan internet, yang sering kali menjadi korban pertama dalam bencana besar. Di banyak daerah terpencil di Indonesia, radio masih menjadi satu-satunya sumber informasi yang dapat diandalkan.
- Kecepatan dan Kecepatan: Dibandingkan media lain, radio adalah yang tercepat dalam menyebarkan peringatan darurat. Informasi dapat disiarkan secara langsung dan seketika menjangkau audiens yang luas. Kemampuan ini sangat krusial ketika setiap detik berharga, seperti saat menaikkan status dari Siaga ke Awas.
- Kepercayaan dan Sentuhan Personal: Karakteristik radio yang auditif dan personal menciptakan hubungan yang akrab (akrab) antara penyiar dan pendengar.27 Di radio komunitas seperti Kelud FM, penyiar adalah tetangga, teman, atau tokoh masyarakat yang dikenal dan dipercaya. Suara Suprapto yang menenangkan lebih berpengaruh daripada pesan teks anonim. Kepercayaan ini adalah “bahan bakar” yang memastikan peringatan tidak hanya didengar, tetapi juga dipatuhi. Radio mampu menciptakan “teater pikiran” (theatre of mind), membuat pesan terasa lebih mendesak dan personal.
Ekosistem Sinergis
Keberhasilan di Kelud tidak hanya karena satu stasiun radio, tetapi karena adanya sebuah ekosistem komunikasi yang bekerja secara sinergis. Alih-alih bersaing, berbagai kelompok ini berkolaborasi, masing-masing memainkan peran yang saling melengkapi dan memperkuat.
- PVMBG bertindak sebagai sumber data ilmiah yang akurat.
- RAPI berfungsi sebagai jaringan relai yang disiplin dan cepat, memastikan informasi resmi dari PVMBG tersebar luas tanpa distorsi.
- Kelud FM dan radio komunitas lainnya berperan sebagai “penerjemah” dan “kontekstualisator” lokal, mengubah data teknis menjadi pesan yang relevan dan dapat dipahami oleh masyarakat setempat, dengan menggunakan bahasa dan pendekatan budaya yang sesuai.
- Jangkar Kelud bertindak sebagai koordinator strategis, menggunakan informasi dari radio untuk menggerakkan aksi nyata di lapangan, seperti pelatihan, pembentukan tim evakuasi, dan advokasi kebijakan.
Model kolaboratif ini menciptakan aliran informasi yang mulus: dari sains ke sinyal, dari sinyal ke pemahaman, dan dari pemahaman ke tindakan.
Kompensasi Akar Rumput atas Kekosongan Institusional
Seperti yang telah disinggung, analisis yang paling mendalam dari peristiwa ini adalah bagaimana jaringan masyarakat sipil ini secara efektif mengisi kekosongan institusional. Absennya BPBD permanen di Kabupaten Kediri pada saat itu bisa menjadi resep untuk bencana yang lebih besar. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Komunitas, melalui jaringan radio mereka, telah membangun kapasitas penanggulangan bencana mereka sendiri dari bawah ke atas.
Respons Kelud 2014 menjadi studi kasus kelas dunia tentang manajemen bencana berbasis komunitas (Community-Based Disaster Management). Keberhasilan ini tidak didikte oleh struktur komando dari atas ke bawah, melainkan oleh jaringan masyarakat sipil yang terorganisir, terlatih, dan sangat siap. Mereka tidak menunggu untuk diberdayakan; mereka memberdayakan diri mereka sendiri.
Model untuk Siklus Bencana Penuh
Peran jaringan radio ini tidak terbatas pada saat letusan saja. Mereka aktif di seluruh siklus manajemen bencana, sebuah model holistik yang patut dicontoh.
- Tahap Pra-Bencana (Mitigasi & Kesiapsiagaan): Selama bertahun-tahun, mereka melakukan edukasi, sosialisasi, dan pelatihan melalui siaran radio dan lokakarya, membangun budaya sadar bencana.
- Tahap Saat Bencana (Respons): Mereka menjadi tulang punggung sistem peringatan dini dan pemandu evakuasi, menyelamatkan ribuan nyawa.
- Tahap Pasca-Bencana (Pemulihan): Mereka terus mengudara untuk memberikan peringatan lahar, mengoordinasikan bantuan kemanusiaan, dan bahkan melakukan advokasi kepada pemerintah untuk membentuk lembaga penanggulangan bencana yang permanen, yang akhirnya terwujud dengan pembentukan BPBD pada tahun 2015.
Analisis ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di Kelud jauh melampaui sekadar penggunaan radio. Itu adalah demonstrasi kekuatan modal sosial, kepercayaan, dan organisasi akar rumput dalam menghadapi ancaman eksistensial.
Sinyal Komunitas yang Abadi
Erupsi Gunung Kelud pada 13 Februari 2014 adalah pengingat yang dahsyat akan kekuatan alam yang tak terduga. Namun, di tengah hujan abu dan gemuruh yang menakutkan, sebuah kisah ketangguhan manusia yang luar biasa muncul ke permukaan. Kisah ini tidak berpusat pada teknologi canggih atau komando pemerintah pusat, melainkan pada gelombang radio sederhana yang dipancarkan oleh jaringan warga biasa yang menjadi pahlawan tak terduga.
Peran yang dimainkan oleh Kelud FM, RAPI, dan paguyuban Jangkar Kelud adalah bukti definitif bahwa dalam krisis, komunikasi yang paling efektif adalah komunikasi yang dibangun di atas fondasi kepercayaan. Suprapto di studio radionya, Sukoco dengan HT-nya di titik nol, dan ratusan relawan Jangkar Kelud di lapangan bukanlah sekadar penyebar informasi; mereka adalah sauh komunitas mereka, suara yang menenangkan di tengah badai, dan kompas yang menunjukkan jalan menuju keselamatan. Mereka membuktikan bahwa persiapan bertahun-tahun, yang lahir dari pelajaran pahit masa lalu, dapat mengubah potensi tragedi menjadi sebuah contoh evakuasi yang berhasil.
Pelajaran inti dari Kelud 2014 bukanlah tentang superioritas teknologi analog atas digital, melainkan tentang supremasi komunitas atas kekacauan. Radio hanyalah alat; kekuatannya dibuka oleh modal sosial yang telah dipupuk selama bertahun-tahun—melalui pelatihan, kolaborasi, dan rasa tanggung jawab bersama yang mendalam. Keberhasilan mereka mengisi kekosongan institusional dengan membentuk sistem respons bencana yang efektif dari akar rumput adalah sebuah preseden yang kuat.
Oleh karena itu, sinyal yang paling jelas dari lereng Kelud bukanlah sinyal radio itu sendiri, melainkan sebuah pesan untuk para pembuat kebijakan. Sudah saatnya untuk secara resmi mengakui, mendanai, dan mengintegrasikan jaringan komunikasi berbasis komunitas yang telah terbukti ini ke dalam arsitektur penanggulangan bencana nasional dan daerah. Mengabaikan mereka berarti mengabaikan salah satu aset paling tangguh dan efektif yang kita miliki dalam menghadapi bencana di masa depan. Sinyal abadi dari Kelud mengajarkan kita bahwa pertahanan terkuat melawan amukan alam bukanlah teknologi yang paling canggih, melainkan koherensi dari komunitas yang siap siaga dan saling percaya.