Pada pagi hari, 26 Desember 2004, gemuruh dahsyat dari dasar samudra mengubah segalanya. Gempa berkekuatan 9,3 SR memicu gelombang tsunami setinggi 30 meter yang menyapu bersih pesisir Aceh, melumpuhkan seluruh denyut kehidupan dan komunikasi. Selama dua hari, Aceh jatuh dalam kesunyian total. Listrik padam, menara pemancar Base Transceiver System (BTS) hancur, dan saluran telepon seluler mati. Dunia luar tidak mengetahui skala kehancuran yang sebenarnya, dan yang lebih penting, para penyintas di dalam Aceh terisolasi, tidak mampu mencari keluarga atau mengkoordinasikan bantuan.
Di tengah kelumpuhan informasi yang fatal inilah, sebuah teknologi sederhana bangkit menjadi suara harapan: radio. Inilah kisah inspiratif tentang bagaimana radio darurat tidak hanya memecah kesunyian, tetapi juga membantu menyatukan kembali komunitas dan mengawal Aceh bangkit dari puing-puing bencana.
Memecah Kesunyian: Lahirnya Radio Suara Aceh
Di tengah krisis informasi, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) bergerak cepat. Hanya dalam hitungan minggu, pada 6 Januari 2005, sebuah siaran radio darurat bernama Radio Suara Aceh berhasil mengudara untuk pertama kalinya pasca-bencana. Inisiatif ini merupakan buah kolaborasi banyak pihak:
- Dukungan Internasional: Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) memberikan dana hibah untuk pengadaan kendaraan liputan, genset, dan pemancar.
- Bantuan Nasional: Perusahaan Humpuss menyumbangkan peralatan radio dan pemancar kecil , sementara Badan Urusan Logistik (Bulog) menyediakan gudangnya di pusat kota Banda Aceh sebagai studio, lengkap dengan dukungan listrik dan makanan.
- Menjangkau Penyintas: Untuk memastikan siaran dapat diterima, JICA bersama Internews, UNDP, dan PRSSNI mendistribusikan sekitar 4.000 radio engkol (radio bertenaga dinamo) ke lokasi-lokasi pengungsian dan pesantren.
Dari studio darurat di kantor Bulog, Radio Suara Aceh menjadi pusat informasi vital. Siarannya bukan sekadar hiburan, melainkan denyut nadi kehidupan. Mereka menyiarkan informasi orang hilang, tips kesehatan darurat bagi ibu hamil di pengungsian, dan konsultasi psikologi. Bekerja sama dengan Palang Merah Internasional (ICRC), radio ini membacakan daftar “Saya Selamat” untuk membantu mempertemukan kembali keluarga yang terpisah. Bahkan, relawan dari Posko Al-Azhar mengisi program dongeng anak untuk penyembuhan trauma. Selama enam bulan beroperasi, Suara Aceh menjadi bukti bahwa di tengah bencana paling gelap sekalipun, informasi adalah bentuk bantuan yang paling esensial.
Jaringan Harapan di Tengah Bencana: Aceh Emergency Radio Network (AERNet)
Inisiatif radio darurat tidak hanya terpusat di Banda Aceh. Combine Resource Institution (CRI), bersama para pegiat radio komunitas dari Yogyakarta dan Jawa, meluncurkan sebuah program ambisius bernama Aceh Emergency Radio Network (AERNet). Filosofi mereka berbeda: membangun jaringan radio yang terdesentralisasi di wilayah-wilayah luar Banda Aceh untuk memastikan distribusi informasi yang lebih merata dan mendorong partisipasi warga lokal.
Dengan dukungan dari berbagai pihak seperti Yayasan IDEP, World Bank, dan Asosiasi Free Radio dari Jerman, AERNet berhasil mendirikan lima stasiun radio darurat di lokasi-lokasi strategis yang terdampak parah:
- Swara Meulaboh FM: Didirikan di Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, dinamai Swara Meulaboh FM (kemudian menjadi RAKAN FM). Radio ini menyiarkan informasi pemulihan bencana dan melibatkan pemuda dalam pengelolaannya.
- Suara Sinabang FM: Dibangun di Pulau Simeulue, dekat Pelabuhan Sinabang, dengan dukungan relawan lokal Gerak. Radio ini mengawal informasi darurat dan proses pembangunan rumah korban tsunami.
- Al Jumhur FM: Didirikan di Kabupaten Bireuen, di Dayah (pondok pesantren) di Kecamatan Simpang Mamplam, menyiarkan program bernuansa Islami untuk pemulihan trauma.
- Samudera FM: Berlokasi di Meunasah (musholla) di Kecamatan Gedong, Aceh Utara, bekerja sama dengan RPuK Lhokseumawe (Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan). Radio ini mengangkat isu kehidupan di barak pengungsian dan melibatkan pemuda sebagai penyiar.
- SEHA FM: Didirikan di Jantho, ibukota Kabupaten Aceh Besar, untuk melayani penyintas yang direlokasi di sana. Radio ini menyiarkan informasi dan hiburan, serta memfasilitasi kelompok seni dan budaya Aceh.
Untuk melayani para penyintas yang direlokasi Setiap stasiun dilengkapi peralatan siaran sederhana, genset, dan telepon satelit. Tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Selain kesulitan logistik, tim harus beroperasi di tengah status Daerah Operasi Militer (DOM), di mana konflik antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih berlangsung.
AERNet bukan sekadar stasiun radio, melainkan sebuah sistem informasi. Mereka membangun “simpul komunikasi” di lokasi lain untuk mengumpulkan berita yang kemudian dikirim ke studio terdekat untuk. Informasi disajikan dalam bahasa lokal, mencakup data orang hilang, jalur distribusi logistik, hingga program penyembuhan trauma untuk menangkal hoaks.
Dari Darurat Menuju Pemberdayaan: Warisan ARRNet
Masa tanggap darurat akhirnya berlalu, namun kebutuhan akan informasi terus berlanjut. Menyadari hal ini, CRI dengan dukungan Japan Social Development Fund (JSDF) melalui Bank Dunia, meluncurkan program lanjutan: Aceh Reconstruction Radio Network (ARRNet). Misinya bergeser dari respons darurat menjadi pengawasan proses rehabilitasi dan rekonstruksi, serta memberikan suara kepada para penyintas untuk menyikapi proses pembangunan kembali.
Selama periode 2006-2007, ARRNet memfasilitasi pendirian 32 stasiun radio komunitas baru di 11 kabupaten/kota Proses ini menekankan pengorganisasian warga. Awalnya tidak mudah; banyak penyintas menolak dengan dalih, “kami butuh rumah dan dana… bukan radio”. Namun, setelah ditunjukkan bagaimana radio dapat menjembatani keluhan terkait akurasi data penerima bantuan rumah dan distribusi jatah hidup, warga akhirnya menyepakati perlunya radio komunitas sebagai penyambung suara mereka. Inisiatif-inisiatif ini meninggalkan warisan yang abadi.
Radio-radio komunitas yang lahir dari puing bencana ini kemudian membentuk forum-forum jaringan di tingkat kabupaten, seperti Forum Radio Komunitas Pidie dan Pidie Jaya (FRKP2J) dan Jaringan Radio Komunitas Aceh Besar dan Banda Aceh (JRK-ABBA]. Puncaknya adalah deklarasi Jaringan Radio Komunitas Nanggroe Aceh Darussalam (JRK-NAD) pada Agustus 2008.
Kisah radio kebencanaan di Aceh adalah pelajaran tentang kekuatan transformatif dari komunikasi. Ia menunjukkan bahwa dari kesunyian yang paling mematikan sekalipun, suara komunitas dapat bangkit untuk menyembuhkan, membangun, dan memberdayakan. Dari siaran darurat yang dikelola relawan luar, lahir jaringan radio milik warga yang mandiri, membuktikan bahwa informasi yang akurat dan empatik adalah fondasi penting dalam setiap upaya pemulihan bencana. Hingga kini, sekitar 20 stasiun radio tersebut masih aktif mengudara, menjadi pengingat abadi akan semangat kebangkitan Tanah Rencong.