Lompat ke konten

Suara di Tengah Sunyi: Peran Vital Radio dalam Krisis Gempa Lombok dan Palu

  • Adaptasi

Getaran yang Membungkam Dunia: Lumpuhnya Infrastruktur Komunikasi Modern

Pada senja hari Jumat, 28 September 2018, di tengah kemeriahan persiapan Festival Pesona Palu Nomoni, bumi di bawah Kota Palu bergetar dengan kekuatan dahsyat. Guncangan bermagnitudo 7,4 itu bukan sekadar getaran, melainkan sebuah amukan yang merobek lanskap dan tatanan sosial. Musni K. Usman, seorang saksi mata di Pantai Talise, menggambarkan suasana yang seketika berubah mencekam. Belum usai keterkejutan akibat gempa, gulungan ombak hitam pekat membumbung dari Teluk Palu. “Saya mendengar suara teriakan orang dengan nada kengerian bahwa ada tsunami menuju kemari,” kenangnya. Suasana menjadi kacau balau, dipenuhi teriakan dan kepanikan saat ratusan warga lintang pukang menyelamatkan diri. Di Hotel Santika, Dusep, seorang aparatur sipil negara, merasakan tembok kamarnya bergetar hebat, kaca-kaca pecah, dan bangunan seakan bergerak tak tentu arah. Kemudian, kegelapan total menyelimuti segalanya. “Lampu mati, hotel tiba-tiba gelap. Dalam kondisi itu, terdengar teriakan orang-orang memekikkan telinga,” tuturnya.

Kisah serupa terjadi di Lombok beberapa minggu sebelumnya. Serangkaian gempa kuat, puncaknya pada 5 Agustus 2018 dengan magnitudo 7,0, membuat warga berhamburan keluar rumah dalam kegelapan pekat.5 Anastacia Nariswari, warga Mataram, merasakan goyangan gempa yang begitu besar hingga ia merasa oleng saat berdiri. Listrik padam di seluruh pulau, memperparah kepanikan dan disorientasi. Zuliatin, warga lainnya, menyaksikan atap rumahnya roboh dan dinding kamarnya jebol. Ia dan keluarganya terpaksa tinggal di tenda darurat selama lebih dari sebulan, terlalu trauma untuk kembali ke dalam rumah yang rapuh.

Narasi-narasi personal ini adalah fragmen dari sebuah fenomena yang lebih besar: keruntuhan total infrastruktur komunikasi modern. Di Palu dan Donggala, dampaknya nyaris absolut. Jaringan telekomunikasi mengalami blackout atau putus total. Sesaat setelah gempa, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melaporkan bahwa lebih dari 500 Base Transceiver Station (BTS) atau menara pemancar sinyal seluler tidak berfungsi.  Kelumpuhan ini begitu parah hingga Presiden Joko Widodo pun mengalami kesulitan untuk menghubungi Gubernur Sulawesi Tengah dan menghimpun data terkini.  Di Lombok, situasinya sedikit berbeda namun tetap kritis. Gempa melumpuhkan sekitar 15% dari total jaringan telekomunikasi, atau sekitar 1.000 dari 6.000 BTS yang ada. Beberapa operator masih bisa beroperasi secara parsial, namun sebagian besar jaringan mati, terutama milik Indosat dan Hutchison Tri.

Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa kelumpuhan jaringan telekomunikasi ini bukanlah sekadar akibat langsung dari menara yang roboh. Ia merupakan efek domino dari kegagalan infrastruktur yang lebih fundamental: jaringan listrik. Baik di Palu maupun Lombok, penyebab utama matinya ribuan BTS adalah terhentinya pasokan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di Palu, kerusakan masif terjadi pada 5 dari 7 gardu induk. Sementara di Lombok, sistem kelistrikan terganggu parah dan sempat padam total. Baterai cadangan yang ada di setiap menara BTS hanya mampu bertahan selama 4 hingga 6 jam. Setelah itu, tanpa pasokan listrik dari PLN atau genset, menara-menara tersebut menjadi tumpukan besi tak berguna. Rantai kegagalan ini—gempa merusak jaringan listrik, yang kemudian mematikan jaringan telekomunikasi—menunjukkan sebuah kerentanan sistemik yang mendalam dalam infrastruktur modern Indonesia.

Akibat langsung dari keruntuhan ini adalah terciptanya sebuah kekosongan informasi (information vacuum) yang berbahaya. Di tengah kebingungan dan duka, masyarakat terputus dari dunia luar dan satu sama lain. Keluarga di Gorontalo cemas karena tidak bisa menghubungi kerabat mereka di Palu.9 Di tengah kelangkaan informasi valid, ruang hampa ini dengan cepat diisi oleh desas-desus, informasi simpang siur, dan hoaks yang menyebar dari mulut ke mulut atau melalui akses media sosial yang sangat terbatas. Di Lombok, isu akan datangnya tsunami susulan menambah kepanikan warga yang telah mengungsi ke perbukitan.17 Di Palu, informasi yang tidak terverifikasi merajalela, mendorong Palang Merah Indonesia (PMI) untuk mencari media alternatif yang lebih akurat.18

Bencana ganda di Lombok dan Palu pada 2018 mengungkap sebuah paradoks dari ketergantungan modern. Semakin sebuah masyarakat terintegrasi dengan teknologi komunikasi canggih seperti internet dan telepon pintar, semakin rentan ia terhadap disorientasi total ketika teknologi tersebut gagal. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengidentifikasi fenomena ini dengan tajam, menyatakan bahwa kepanikan di Palu, sebuah pusat perkotaan, terasa lebih hebat dibandingkan di Lombok. Di pedesaan Lombok, ekonomi berbasis agraria masih bisa berjalan meski terbatas. Namun di perkotaan Palu, ekonomi dan kehidupan sosial seketika mandek begitu listrik dan telekomunikasi padam. “Kalau satu juta orang tiba-tiba kehilangan handphone-nya, pasti panik dia kan. Listrik mati tidak bisa nonton TV? Panik dia,” ujar Kalla. Kehilangan sinyal bukan lagi sekadar ketidaknyamanan teknis; ia menjelma menjadi kehilangan akses terhadap informasi, keamanan, keluarga, dan komunitas. Krisis psikologis ini memperburuk krisis fisik, dan dalam kekosongan yang memekakkan inilah, sebuah teknologi yang dianggap “kuno”—radio—menemukan kembali peran vitalnya sebagai suara di tengah sunyi.

Frekuensi Harapan: Radio Komunitas dan Amatir di Garis Depan Lombok

Ketika infrastruktur modern bungkam di Lombok, respons komunikasi pertama justru datang dari akar rumput. Di tengah kekacauan dan isolasi, radio komunitas dan para pegiat radio amatir bangkit menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka tidak menunggu komando; dengan sumber daya terbatas dan seringkali sebagai korban bencana itu sendiri, mereka mengimprovisasi, beradaptasi, dan mengisi kekosongan informasi dengan kelincahan yang luar biasa. Respons di Lombok menjadi sebuah studi kasus tentang resiliensi komunikasi yang digerakkan oleh komunitas.

Media Komunitas sebagai Responden Pertama

Di garis depan merespons informasi ini berdiri media-media komunitas. Mereka adalah warga lokal yang terlatih dalam jurnalisme warga, memiliki kedekatan, dan yang terpenting, kepercayaan dari komunitas mereka. Dua nama menonjol dalam upaya ini: Speaker Kampung di Lombok Timur dan Primadona FM di Lombok Utara.

Hanya beberapa jam setelah gempa pertama berkekuatan 6,4 SR mengguncang pada 29 Juli 2018, para pegiat media komunitas Speaker Kampung di Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, langsung bergerak. Meskipun mereka juga terdampak, mereka dengan cepat mengumpulkan informasi dan menyebarkannya melalui platform yang paling mudah diakses saat itu: media sosial Facebook. Laporan pertama mereka berjudul “Rumah Rusak dan Dua Orang Korban Akibat Gempa di Sambelia”, sebuah informasi krusial yang memberikan gambaran awal skala kerusakan. Selama periode tanggap darurat, mereka sangat produktif, merilis 78 laporan berita dalam satu minggu pasca gempa pertama dan kedua. Laporan-laporan ini, yang diperbarui secara berkala, memuat informasi vital mengenai jumlah korban, lokasi posko pengungsian, dan kebutuhan logistik mendesak.21

Di Lombok Utara, wilayah yang paling parah terdampak, Primadona FM menghadapi tantangan yang lebih berat. Studio mereka di Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, rawan roboh, memaksa siaran on-air berhenti total. Para pegiatnya, termasuk Hamdi Hidayat dan Miftahul Hafiz, juga menjadi pengungsi, tinggal di tenda-tenda darurat dengan akses listrik dan air yang minim.  Namun, keterbatasan ini tidak membungkam mereka. Mereka beralih menjadi relawan informasi, memanfaatkan jaringan pribadi seperti WhatsApp dan laman Facebook Rakom Primadona FM untuk terus mengabarkan situasi. Dalam dua minggu, mereka berhasil mengunggah 59 laporan dalam berbagai format—teks, foto, video, hingga siaran langsung—yang menjadi sumber informasi penting bagi warga dan pihak luar. Salah satu unggahan mereka yang mendapat respons besar adalah informasi mengenai janji bantuan pemerintah, yang memicu puluhan komentar dan dibagikan lebih dari 300 kali oleh para penyintas yang haus akan kepastian.

Radio Amatir sebagai Jembatan Komunikasi

Jika radio komunitas menjadi sumber informasi hiper-lokal, maka para pegiat radio amatir (ORARI dan RAPI) berperan sebagai jembatan komunikasi yang menghubungkan titik-titik terisolasi. Ketika jaringan seluler lumpuh, gelombang radio HF/SSB dan VHF yang mereka gunakan menjadi satu-satunya kanal komunikasi yang andal. Mereka secara efektif menjalankan fungsinya sebagai “cadangan nasional pada bidang telekomunikasi,” sebuah peran sukarela yang sangat krusial dalam kondisi darurat.

Salah satu contoh paling menonjol adalah Komunitas Amatir Radio Club Station Bakti Selaparang di Kecamatan Pringgabaya. Penelitian mengenai peran mereka menunjukkan sebuah “peran nyata” yang melampaui sekadar komunikasi.23 Anggota komunitas ini secara sukarela terjun langsung ke lapangan, tidak hanya untuk mentransmisikan informasi darurat kepada pihak berwenang seperti Basarnas dan PMI, tetapi juga untuk menyalurkan bantuan material seperti sembako, terpal, dan air bersih ke desa-desa terpencil seperti Sambelia dan Sembalun. Mereka menggunakan komunikasi radio antar-pribadi untuk menjaga akurasi dan kerahasiaan informasi penting, memastikan bantuan sampai ke pihak yang tepat. Kemampuan mereka untuk beroperasi saat infrastruktur reguler rusak total menjadikan mereka tulang punggung komunikasi darurat di banyak wilayah.

Model Komunikasi Hibrida Darurat: Inovasi dari Keterbatasan

Respons di Lombok melahirkan sebuah model komunikasi yang unik dan adaptif, sebuah model hibrida yang lahir dari keterbatasan. Ketika pemancar radio FM tradisional tidak dapat digunakan—baik karena kerusakan studio, ketiadaan listrik, atau kendala perizinan seperti yang dialami Primadona FM 22—para pegiat radio tidak menyerah. Mereka tidak melihat diri mereka hanya sebagai “penyiar radio,” melainkan sebagai “pengelola informasi komunitas.” Identitas ini memungkinkan mereka untuk fleksibel dalam memilih platform.

Prosesnya berjalan sebagai berikut: studio dan pemancar FM lumpuh, namun para pegiat masih memiliki akses sporadis ke jaringan internet seluler melalui telepon pintar mereka. Mereka kemudian beralih ke platform yang paling banyak digunakan dan familiar bagi komunitas mereka, yaitu Facebook dan WhatsApp.21 Peran mereka pun bertransformasi. Dari yang semula menyiarkan suara, kini mereka memproduksi konten multi-format: teks laporan, foto kerusakan, video kesaksian, bahkan melakukan siaran langsung dari lokasi pengungsian. Mereka secara efektif menjadi jurnalis warga dan manajer informasi terdepan.

Model hibrida ini menunjukkan sebuah pertukaran (trade-off) yang menarik. Mereka mengorbankan jangkauan luas dan aksesibilitas universal dari siaran radio FM analog, yang dapat diterima oleh siapa saja dengan radio murah tanpa perlu internet. Sebagai gantinya, mereka memperoleh kecepatan pembaruan dan kekayaan media (visual dan interaktif) yang ditawarkan oleh platform digital. Hal ini menciptakan sebuah paradoks: informasi menjadi sangat cepat, detail, dan relevan bagi mereka yang memiliki akses (telepon pintar, kuota internet, dan daya baterai), namun menjadi tidak dapat diakses sama sekali oleh kelompok yang paling rentan—mereka yang tidak memiliki perangkat tersebut.

Namun, di tengah paradoks ini, efektivitas model hibrida Lombok terletak pada satu elemen fundamental: kepercayaan. Dalam situasi krisis yang penuh ketidakpastian dan hoaks, informasi yang berasal dari sumber yang dikenal dan dipercaya—seperti pegiat radio komunitas yang merupakan tetangga, teman, atau tokoh lokal—memiliki nilai yang jauh lebih tinggi daripada informasi dari media nasional yang terasa jauh atau sumber anonim di media sosial.25 Kehadiran fisik dan reputasi para pegiat ini di tengah komunitas menjadi filter dan penjamin kebenaran informasi. Hal ini menegaskan sebuah prinsip penting dalam komunikasi bencana: pada saat-saat paling kritis, kredibilitas dan kepercayaan terhadap sumber informasi seringkali lebih vital daripada kecanggihan platform teknologinya. Radio komunitas di Lombok, baik melalui gelombang udara maupun unggahan Facebook, menjadi suara yang dipercaya karena mereka adalah suara dari komunitas itu sendiri.

Siaran dari Puing-Puing: Respons Radio Terstruktur di Palu

Jika respons radio di Lombok adalah kisah tentang inisiatif akar rumput yang heroik dan terdesentralisasi, maka bencana di Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala) yang terjadi sebulan kemudian menyajikan narasi yang kontras. Di tengah kehancuran yang bahkan lebih masif—melibatkan gempa, tsunami, dan likuifaksi—respons radio di Palu menunjukkan bagaimana dukungan kelembagaan, kolaborasi terstruktur, dan kebijakan yang suportif dapat melahirkan sebuah ekosistem informasi darurat yang terkoordinasi dan berdampak luas. Radio di Palu tidak hanya menjadi suara harapan, tetapi juga pilar fungsional dalam manajemen krisis.

Nebula FM: Transformasi Radio Komersial menjadi Jantung Informasi Bencana

Di pusat ekosistem ini berdiri Radio Nebula FM, sebuah stasiun radio siaran niaga swasta. Dalam kondisi normal, fokus utamanya adalah bisnis dan hiburan. Namun, pasca-bencana, Nebula FM mengambil langkah transformatif yang fundamental: ia mengubah dirinya menjadi “radio kebencanaan” selama tiga bulan penuh.26 Perubahan drastis ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari kolaborasi strategis dengan dua lembaga kunci:

First Response Indonesia (FRI), sebuah NGO yang berfokus pada penyiaran radio darurat, dan Palang Merah Indonesia (PMI).26 Kemitraan ini memungkinkan Nebula FM, yang juga mengalami kesulitan, untuk mengatasi kendala sumber daya dan menjadi stasiun radio pertama yang kembali mengudara pasca-gempa di Palu, sebuah pencapaian yang membuatnya diganjar penghargaan khusus oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID).

Transformasi ini melahirkan program-program siaran darurat yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat yang mendesak. Dua program unggulan menjadi tulang punggung siaran Nebula FM:

Anatomi Program Darurat: “Mitigasi 101” dan “PMI Nolelei”

1. “Mitigasi 101”: Program ini adalah manifestasi dari peran edukatif radio di tengah krisis. Diproduksi melalui proses tiga tahap yang sistematis (pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi), “Mitigasi 101” dirancang untuk menjadi sumber informasi yang komprehensif dan terpercaya. Kontennya sangat beragam, mencakup:

  • Talk Show Kredibel: Mengundang narasumber dari pemerintah, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), para ahli, dan tokoh masyarakat untuk memberikan penjelasan yang akurat dan menenangkan, sebuah upaya sadar untuk memerangi hoaks dan disinformasi yang merajalela.
  • Segmen Berita dan Feature: Menyajikan laporan terkini dari lapangan serta kisah-kisah humanis (feature) yang menyentuh emosi pendengar, seperti feature berjudul “Anak-Trauma Anak”.
  • Iklan Layanan Masyarakat (ILM): Menyiarkan pesan-pesan penting tentang kesehatan, sanitasi, dan keselamatan di pengungsian, hasil kerjasama dengan FRI.
  • Dukungan Psikososial: Salah satu inovasi terpenting dari program ini adalah segmen “curahan hati (curhat) penyintas bencana”. Segmen ini memberikan ruang aman bagi para korban untuk berbagi cerita, duka, dan kecemasan mereka, berfungsi sebagai katarsis kolektif dan bentuk dukungan psikososial pertama di tengah trauma yang meluas.

2. “PMI Nolelei” (PMI Mengabarkan): Program hasil kerjasama dengan PMI ini menjadi contoh paling kuat dari pergeseran peran radio dari media penyiaran satu arah menjadi platform keterlibatan publik dua arah. “PMI Nolelei” adalah sebuah

talk show interaktif yang secara harfiah berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara korban dan pihak berwenang. Mekanismenya sederhana namun sangat efektif: PMI mengundang narasumber dari pemerintah daerah, lembaga kemanusiaan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk hadir di studio. Kemudian, jalur telepon dibuka bagi para pendengar.

Melalui program ini, para penyintas di lokasi pengungsian dapat menelepon langsung dan menyuarakan aspirasi, keluhan, atau pertanyaan mereka kepada pejabat yang berwenang. Ini adalah bentuk akuntabilitas publik secara real-time. Laporan menyebutkan bahwa beberapa permintaan dari korban bencana yang disampaikan melalui siaran ini langsung dikabulkan oleh narasumber dari pemerintah yang sedang mengudara.18 Radio tidak lagi hanya “mengabarkan tentang” korban, tetapi memberikan “suara kepada” korban, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam proses pemulihan mereka sendiri.

Peran Institusi Negara: RRI Palu sebagai Posko Pengaduan

Selain radio swasta, institusi penyiaran publik milik negara, Radio Republik Indonesia (RRI) Palu, juga memainkan peran yang tak kalah krusial. Dengan infrastruktur dan mandat publiknya, RRI Palu dengan cepat bertransformasi menjadi posko informasi dan pengaduan utama bagi masyarakat yang kebingungan dan tercerai-berai. Heri Haryono, yang saat itu menjabat sebagai Kepala LPP RRI Palu, memberikan kesaksian yang kuat tentang peran ini: “Orang hilang itu, disini ini posko pengaduan karena orang tercecer-cecer dimana-mana, dia tidak tahu harus kemana maka larinya ke RRI sehingga ditemukan di RRI”. RRI menjadi titik temu, tempat keluarga yang terpisah mencari dan akhirnya bersatu kembali.

Pentingnya peran strategis RRI ini diakui oleh pemerintah. Pemulihan siaran RRI menjadi salah satu prioritas utama dalam fase tanggap darurat. Hanya empat hari pasca-gempa, pada 2 Oktober 2018, PLN berhasil memulihkan pasokan listrik ke kantor RRI Palu, jauh lebih cepat dari perkiraan awal yang memprediksi butuh waktu satu minggu. Langkah cepat ini menandakan pemahaman pemerintah bahwa di tengah kelumpuhan total, RRI adalah aset vital untuk komunikasi publik dan koordinasi penanganan bencana.

Ekosistem Informasi Darurat yang Terkoordinasi

Keberhasilan respons radio di Palu bukanlah sebuah kebetulan. Berbeda dengan respons organik yang muncul dari bawah di Lombok, apa yang terjadi di Palu adalah penciptaan sebuah ekosistem informasi darurat yang disengaja dan terkoordinasi. Keberhasilan ini adalah hasil dari konvergensi dan sinergi tiga kekuatan utama:

  1. Sektor Swasta: Radio Nebula FM menyediakan platform siaran, sumber daya manusia (penyiar dan teknisi), dan jangkauan audiens yang sudah ada.
  2. Masyarakat Sipil/NGO: PMI dan First Response Indonesia memberikan dukungan krusial berupa konten ahli (kesehatan, mitigasi), pendanaan program, keahlian teknis penyiaran darurat, dan sumber daya tambahan seperti radio bertenaga surya.
  3. Pemerintah: Pemerintah, melalui Kementerian Kominfo, memberikan payung hukum yang memfasilitasi respons cepat dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kominfo Nomor 773/2018 yang menyederhanakan akses frekuensi radio untuk siaran darurat.30 Selain itu, partisipasi pejabat pemerintah sebagai narasumber di program radio memberikan legitimasi dan memastikan adanya jalur komunikasi langsung ke pembuat kebijakan.

Rantai kolaborasi ini—dari kebijakan yang memungkinkan, ke stasiun radio yang memfasilitasi, hingga NGO yang mengisi konten dan warga yang berpartisipasi—menciptakan sebuah model respons yang jauh lebih terstruktur, komprehensif, dan berdampak dibandingkan dengan upaya-upaya yang terfragmentasi. Palu, di tengah tragedinya, memberikan cetak biru yang sangat berharga tentang bagaimana membangun arsitektur komunikasi bencana yang tangguh dan kolaboratif untuk masa depan.

Di Balik Mikrofon: Tantangan, Kolaborasi, dan Inovasi

Kisah heroik para pegiat radio di Lombok dan Palu tidak lepas dari berbagai tantangan berat yang mereka hadapi. Dari kerusakan fisik hingga tekanan finansial, para penyiar ini berjuang di balik mikrofon untuk menjaga aliran informasi tetap hidup. Namun, dari krisis ini pula lahir kolaborasi dan inovasi yang luar biasa, membentuk sebuah ekosistem pendukung yang vital bagi kelangsungan hidup komunikasi bencana.

Tantangan Universal yang Menghadang

Para pelaku radio di kedua lokasi bencana menghadapi serangkaian tantangan yang serupa, yang menguji ketahanan mereka hingga batas maksimal.

  • Kerusakan Infrastruktur Fisik: Ini adalah tantangan paling mendasar. Di Kabupaten Sigi, yang berdekatan dengan Palu, Radio Citra Pertanian (RCP) FM menjadi contoh nyata kehancuran total. Direktur RCP FM, Moh Takdir, menggambarkan kondisi stasiunnya sangat parah. Tower antena setinggi 60 meter patah dan roboh, bangunan studio mengalami reruntuhan dan retak di mana-mana sehingga tidak layak lagi untuk ditempati. Hal ini secara efektif membungkam stasiun radio tersebut sejak hari pertama gempa. Di Lombok, studio Primadona FM juga terancam roboh, memaksa mereka menghentikan siaran on-air.
  • Krisis Energi dan Ketergantungan pada Genset: Seperti yang telah dibahas, lumpuhnya jaringan listrik PLN menjadi akar dari matinya sebagian besar infrastruktur komunikasi.2 Stasiun radio yang ingin tetap mengudara harus bergantung sepenuhnya pada generator set (genset). Namun, hal ini menimbulkan masalah baru: kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Di Palu, BBM menjadi komoditas langka dan mahal, bahkan ada yang dijual seharga Rp 100 ribu per botol air mineral.2 Mempercepat pengadaan BBM untuk genset rumah sakit dan operator telekomunikasi menjadi salah satu prioritas pemerintah.
  • Tekanan Finansial dan Model Bisnis yang Rapuh: Bencana ini secara brutal mengekspos kerentanan model bisnis radio, terutama bagi stasiun komersial dan komunitas yang bergantung pada iklan atau iuran. Gaguk Santoso dari Radio Rinjani FM di Lombok menggambarkan kondisi industri radio secara umum sudah “setengah mati” bahkan sebelum bencana. Ketika bencana melumpuhkan ekonomi lokal, pendapatan dari iklan praktis hilang, membuat operasional stasiun radio menjadi tidak berkelanjutan. Keberhasilan program darurat Radio Nebula FM di Palu, misalnya, sangat bergantung pada pendanaan dari NGO. Setelah program darurat berjalan selama enam bulan dan dukungan dana berakhir, stasiun tersebut menghadapi kesulitan untuk menyeimbangkan antara misi layanan sosial kebencanaan dengan misi bisnisnya.27 Siklus ini—di mana radio menjadi vital saat bencana tetapi kehilangan sumber pendapatan utamanya—menunjukkan sebuah kelemahan struktural yang tidak dapat diatasi sendiri oleh stasiun radio.
  • Beban Psikologis Staf Radio: Seringkali dilupakan bahwa para penyiar, reporter, dan teknisi radio juga merupakan korban bencana. Mereka mengalami kehilangan, trauma, dan kecemasan yang sama seperti warga lainnya. Namun, di saat yang sama, mereka dituntut untuk tetap profesional, menjadi pilar informasi yang tenang dan terpercaya bagi komunitas mereka yang sedang panik. Beban ganda ini merupakan tantangan psikologis yang luar biasa.

Ekosistem Pendukung: Kolaborasi sebagai Penyelamat

Di tengah berbagai tantangan tersebut, sebuah ekosistem pendukung yang terdiri dari berbagai aktor muncul dan menjadi penyelamat. Kolaborasi antara stasiun radio, NGO, komunitas, dan pemerintah menjadi kunci keberhasilan komunikasi darurat.

  • Peran Krusial Organisasi Non-Pemerintah (NGO):
  • First Response Indonesia (FRI): Lembaga ini memainkan peran sentral di kedua lokasi. Di Lombok, mereka mengirimkan tim “Tikus Darat” untuk berkoordinasi dengan media komunitas lokal seperti Speaker Kampung dan Primadona FM.  Di Palu, mereka tidak hanya menjadi mitra utama Radio Nebula FM dalam merancang program “Mitigasi 101” , tetapi juga melakukan inovasi krusial dengan mendistribusikan sekitar 1.000
    radio penerima bertenaga surya ke lokasi-lokasi pengungsian. Palang Merah Indonesia (PMI): Peran PMI di Palu sangat signifikan. Mereka menggagas dan mendanai program interaktif “PMI Nolelei” yang disiarkan melalui Radio Nebula FM. Sama seperti FRI, PMI juga memahami pentingnya aksesibilitas dan menyalurkan sekitar seribu radio surya ke pengungsian untuk memastikan program mereka dapat didengar oleh para penyintas.
  • Solidaritas Sosial Lintas Wilayah: Radio juga terbukti mampu menjadi katalisator bagi solidaritas sosial. Di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, berbagai komunitas seperti Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) menggelar konser amal untuk menggalang dana bagi korban di Palu. Gerakan ini didukung penuh oleh radio milik pemerintah kabupaten setempat, Radio Citra Bahari FM, yang menunjukkan bagaimana radio lokal dapat memobilisasi kepedulian masyarakat untuk membantu daerah lain yang tertimpa bencana.

Inovasi Penutup Lingkaran Komunikasi

Salah satu inovasi terpenting yang lahir dari krisis ini adalah distribusi radio penerima bertenaga surya. Langkah yang dilakukan oleh FRI dan PMI ini seringkali terlewatkan dalam analisis, namun ia adalah komponen yang “menutup lingkaran” komunikasi (closing the communication loop). Tidak ada gunanya memiliki pemancar yang kuat dan program yang informatif jika masyarakat di pengungsian tidak memiliki perangkat untuk mendengarkannya, terutama ketika listrik padam total dan baterai menjadi barang langka.

Dengan menyediakan alat penerima yang tidak bergantung pada listrik PLN, para pemangku kepentingan memastikan bahwa informasi penyelamat jiwa benar-benar sampai ke “mil terakhir” (the last mile), yaitu para pengungsi di tenda-tenda. Inovasi ini mengubah dinamika komunikasi. Pendengar tidak lagi menjadi audiens pasif, tetapi menjadi bagian dari jaringan informasi yang aktif. Setelah menerima informasi dari radio, mereka yang memiliki akses telepon dapat memberikan umpan balik, melaporkan kondisi, atau meminta bantuan, seperti yang terjadi dalam program “PMI Nolelei”. Ini adalah pelajaran fundamental tentang pentingnya memikirkan ekosistem komunikasi secara holistik—dari produksi konten di studio, transmisi sinyal, hingga ketersediaan perangkat penerima di tangan audiens.

Aspek PerbandinganRespons Radio di Lombok (Juli-Agustus 2018)Respons Radio di Palu (September 2018)
Pemicu UtamaInisiatif akar rumput (bottom-up) dari media komunitas dan radio amatir. Kolaborasi terstruktur (top-down support) antara radio komersial, NGO, dan pemerintah. 26
Aktor Dominan– Radio Komunitas (Speaker Kampung, Primadona FM)- Radio Amatir (ORARI, RAPI, Club Station Bakti Selaparang)– Radio Komersial (Nebula FM)- Radio Pemerintah (RRI Palu)- NGO Internasional (First Response Indonesia, PMI)
Model KomunikasiHibrida & Terdesentralisasi: Siaran on-air berhenti, beralih ke media sosial (Facebook, WhatsApp) karena kerusakan studio dan kendala teknis. Terpusat & Terkoordinasi: Siaran on-air menjadi pusat informasi, didukung oleh program terstruktur dan pendanaan eksternal. 
Jenis Konten UtamaLaporan kondisi lapangan, data korban, kebutuhan logistik, verifikasi informasi lokal. Edukasi mitigasi, talk show interaktif dengan pemerintah, dukungan psikososial (curhat penyintas), pencarian orang hilang. 
Interaksi dengan PublikSebagian besar satu arah (melaporkan), dengan interaksi terbatas melalui komentar di media sosial. Sangat interaktif dan dua arah, terutama melalui program telepon langsung (call-in) yang menghubungkan korban dengan pihak berwenang. 
Dukungan KebijakanTidak ada kebijakan spesifik yang mendukung; respons bersifat organik. Didukung oleh Kepmen Kominfo No. 773/2018 yang mempermudah izin frekuensi darurat. 
Inovasi KunciAdaptasi platform dari radio ke media sosial oleh pegiat radio komunitas.– Transformasi radio komersial menjadi radio kebencanaan.- Program akuntabilitas publik (PMI Nolelei).- Distribusi massal radio penerima bertenaga surya. 28
Tantangan UtamaFragmentasi informasi, jangkauan terbatas pada pengguna internet, kerusakan fisik studio. Ketergantungan pada pendanaan NGO jangka pendek, menyeimbangkan misi sosial dan bisnis pasca-bencana. 

Tabel komparatif ini secara jelas menunjukkan dua model respons yang berbeda namun sama-sama berharga. Lombok mengajarkan tentang kekuatan resiliensi, adaptasi, dan kepercayaan dari komunitas lokal. Sementara Palu memberikan pelajaran tentang efektivitas kolaborasi terstruktur, dukungan kelembagaan, dan pentingnya kebijakan yang memfasilitasi. Keduanya, secara bersama-sama, memberikan wawasan yang kaya untuk membangun sistem komunikasi bencana yang lebih tangguh di masa depan.

Gema untuk Masa Depan: Rekomendasi Kebijakan dan Teknologi

Pengalaman dari bencana gempa di Lombok dan Palu pada tahun 2018 bukan hanya sekadar kumpulan kisah heroik, melainkan sebuah studi kasus yang sangat berharga bagi masa depan manajemen bencana di Indonesia. Respons radio yang muncul dari puing-puing di kedua lokasi tersebut, meskipun efektif dalam konteksnya masing-masing, pada dasarnya bersifat reaktif. Keberhasilan mereka lahir dari improvisasi di tengah kekacauan. Untuk membangun ketangguhan yang sejati, Indonesia perlu beralih dari pendekatan reaktif ke kesiapsiagaan proaktif. Artinya, sistem, kebijakan, dan kapasitas tidak diciptakan saat bencana terjadi, melainkan dibangun, dilatih, dan dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya untuk menciptakan “memori otot” kelembagaan dalam komunikasi krisis.

Berdasarkan analisis mendalam terhadap tantangan, kolaborasi, dan inovasi yang terjadi, berikut adalah serangkaian rekomendasi kebijakan dan teknologi yang dapat ditindaklanjuti untuk memperkuat peran radio sebagai simpul vital dalam jaringan komunikasi bencana nasional.

Rekomendasi Kebijakan untuk Pemerintah (BNPB, Kominfo, KPI)

  1. Formalisasi dan Modernisasi Kerangka Kerja Radio Darurat Nasional:
    Pemerintah perlu merevisi dan mengimplementasikan secara penuh Peraturan Kepala BNPB Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pedoman Radio Komunikasi Kebencanaan.35 Revisi ini harus secara eksplisit mengintegrasikan
    semua jenis lembaga penyiaran radio—pemerintah (RRI), swasta komersial, komunitas, dan radio amatir (ORARI/RAPI)—ke dalam Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana (SKPDB).38 Tujuannya adalah untuk menciptakan pemahaman peran dan alur komando yang sama, sehingga kolaborasi yang terjadi di Palu tidak lagi bersifat
    ad-hoc, melainkan menjadi prosedur operasi standar nasional.
  2. Membangun Protokol Alokasi Frekuensi Darurat Pra-otorisasi:
    Belajar dari efektivitas Keputusan Menteri Kominfo Nomor 773/2018 di Palu 30, Kementerian Kominfo harus menetapkan sebuah protokol nasional untuk alokasi frekuensi darurat. Protokol ini harus memungkinkan aktivasi frekuensi yang telah ditentukan sebelumnya secara otomatis atau dengan prosedur yang sangat disederhanakan di wilayah yang ditetapkan sebagai darurat bencana. Hal ini akan menghilangkan hambatan birokrasi yang dapat menunda siaran penyelamat jiwa pada jam-jam pertama yang kritis.
  3. Menciptakan Mekanisme Pendanaan Berkelanjutan untuk Radio Darurat:
    Bencana di Lombok dan Palu mengekspos kerentanan finansial stasiun radio, yang perannya menjadi vital justru ketika sumber pendapatan mereka hilang.27 Untuk mengatasi ini, pemerintah, melalui BNPB, harus menetapkan mekanisme pendanaan yang berkelanjutan. Ini dapat berupa alokasi khusus dari
    Dana Siap Pakai (DSP)   atau pembentukan dana hibah darurat yang dapat diakses oleh stasiun radio yang ditunjuk sebagai penyiar informasi bencana. Radio harus diakui dan didanai sebagai bagian dari
    infrastruktur informasi kritis, setara dengan infrastruktur fisik lainnya.
  4. Mengintegrasikan Radio dengan Platform Digital dalam Kebijakan:
    Model hibrida yang muncul di Lombok, di mana pegiat radio menggunakan media sosial ketika siaran on-air lumpuh, menunjukkan realitas konvergensi media.21 Kebijakan penanggulangan bencana harus mengakui dan memfasilitasi integrasi ini. Pemerintah, melalui Kominfo dan BNPB, dapat mengembangkan panduan bagi BPBD dan lembaga penyiaran tentang cara memanfaatkan media sosial secara efektif selama krisis, termasuk protokol untuk
    verifikasi informasi guna melawan penyebaran hoaks dan disinformasi.

Rekomendasi untuk Lembaga Penyiaran

  1. Mengembangkan Prosedur Operasi Standar (SOP) Internal Bencana:
    Setiap stasiun radio, terutama yang berlokasi di daerah rawan bencana, wajib memiliki SOP penanganan bencana internal. SOP ini harus mencakup, namun tidak terbatas pada: protokol keselamatan staf, prosedur aktivasi siaran darurat, rencana cadangan daya (genset, panel surya, BBM), dan kemitraan konten yang telah dijalin sebelumnya dengan sumber informasi resmi seperti BMKG, BPBD, dan PMI. Penyusunan SOP ini harus selaras dengan prinsip dan etika jurnalisme bencana yang telah digariskan oleh Dewan Pers dan organisasi profesi lainnya untuk menghindari dramatisasi dan eksploitasi korban.43
  2. Membangun Jaringan Kolaborasi Antar-Radio:
    Mendorong pembentukan jaringan atau konsorsium antar-stasiun radio di tingkat lokal dan regional. Jaringan ini dapat berfungsi sebagai platform untuk berbagi sumber daya (seperti genset atau reporter), saling menguatkan sinyal (relay), dan mengkoordinasikan penyebaran informasi agar lebih konsisten dan menjangkau wilayah yang lebih luas. Kolaborasi informal yang terjadi antar komunitas di Rembang untuk membantu Palu dapat dijadikan model untuk diformalkan.34

Rekomendasi Teknologi untuk Masa Depan yang Lebih Tangguh

  1. Akselerasi Adopsi dan Eksplorasi Radio Digital (DAB+/DRM):
    Indonesia harus secara serius menjajaki dan mempercepat transisi ke teknologi radio digital, seperti DAB+ (Digital Audio Broadcasting) dan DRM (Digital Radio Mondiale). Keunggulan utama teknologi ini dalam konteks bencana adalah fitur bawaan yang disebut Emergency Warning Functionality (EWF) atau Automatic Safety Alert (ASA).45 Fitur ini memungkinkan pihak berwenang untuk mengirim sinyal yang dapat:
  • Menyalakan radio secara otomatis yang berada dalam mode siaga (standby).
  • Memaksa radio untuk beralih ke saluran darurat yang telah ditentukan.
  • Menampilkan pesan teks peringatan di layar radio.
    Semua ini dapat dilakukan tanpa memerlukan koneksi internet, menjadikannya sistem peringatan yang sangat tangguh.45 Ini adalah evolusi logis dari sistem komunikasi bencana, bergerak dari siaran pasif menjadi peringatan aktif.
  1. Mewujudkan Sistem Peringatan Dini Multi-Platform yang Terintegrasi:
    Visi utama untuk masa depan adalah tidak melihat radio sebagai teknologi yang berdiri sendiri, melainkan sebagai simpul yang sangat tangguh dalam jaringan komunikasi bencana yang lebih besar, berlapis, dan terdesentralisasi. Peran radio yang paling kuat adalah sebagai benteng pertahanan terakhir ketika internet dan jaringan seluler gagal. Radio berfungsi sebagai pemicu dan penyebar informasi terverifikasi yang andal. Informasi dari radio dapat disebarluaskan lebih lanjut melalui platform lain (media sosial, aplikasi pesan) oleh mereka yang memiliki akses. Sebaliknya, radio dapat menerima laporan dari warga melalui platform-platform tersebut untuk diverifikasi dan disiarkan secara lebih luas.
    Dengan mengintegrasikan fitur EWF dari radio digital dengan sistem peringatan dini lainnya yang sedang dikembangkan—seperti SMS blast berbasis lokasi, Peringatan Dini di TV Digital yang telah diuji coba Kominfo 32, dan sirene—Indonesia dapat membangun sebuah arsitektur peringatan dini yang meniru ketangguhan sistem berlapis seperti
    J-Alert di Jepang.49 Dalam sistem seperti ini, kegagalan pada satu saluran tidak akan melumpuhkan keseluruhan sistem, sehingga pesan peringatan yang krusial tetap dapat menjangkau masyarakat. Inilah wujud ketangguhan sejati, di mana teknologi lama dan baru berpadu untuk melindungi kehidupan, memastikan bahwa di tengah gemuruh bencana, selalu ada suara yang terdengar di tengah sunyi.

Sumber: Dari wawancara mendalam dan berbagai sumber lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *